Bandar Lampung| Respon Sekda Provinsi Lampung Marindo Kurniawan dan Anggota Dewan Provinsi Lampung dalam menyikapi pengibaran bendera One Piece yang marak dilakukan oleh warga menjelang 17 Agustus cenderung berlebihan. Demikian dikatakan Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas dalam pres releasnya, Selasa (5/8).
Prabowo mengatakan, pengibaran bendera fiksi dari serial anime One Piece yang dianggap sebagai bentuk penggerusan nilai-nilai kebangsaan dan tidak menghargai jasa para pahlawan kemerdekaan adalah cerminan pejabat Provinsi Lampung yang gagap dalam merespon kritik warga dan tidak memahami ekspresi warga terhadap keresahan akan situasi sosial masyarakat yang semakin memprihatinkan belakangan ini.
“Pernyataan pejabat publik Provinsi Lampung tersebut semakin menunjukkan watak otoritarian dari kekuasaan yang cenderung menganggap ekspresi kritik warga sebagai ancaman. Komentar pejabat tersebut menjadi berbahaya karena berpotensi membatasi kebebasan berekspresi warga negara, ” tulis Prabowo .
Selain itu, respon Sekdaprov dan Anggota DPRD Provinsi Lampung justru memvalidasi keresahan warga melalui makna bendera “Jolly Roger” pada serial One Piece yang dalam cerita digambarkan sebagai symbol perlawanan terhadap ketidakadilan, tirani dan kekuasaan yang korup dan menindas serta persahabatan.
“Mestinya Pejabat Provinsi Lampung belajar dari Presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang cenderung bersikap santai dan tidak reaksioner terhadap pengibaran bendera bintang kejora, ” tambahnya.
Prabowo menyebut, Gus Dur tidak pernah melarang pengibaran bendera Bintang Kejora oleh masyarakat Papua. Bahkan Gus Dur mengakui bendera Bintang Kejora sebagai salah satu identitas kultural warga Papua. Apalagi dalam negara demokrasi, eskpresi warga dalam menyampaikan pendapat atau kritiknya melalui media apapun mestinya dijamin, bukan direspon dengan nada negatif atau malah diancam dengan delik pidana.
“Kami menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar hukum selama tidak merendahkan atau menggantikan posisi Bendera Merah Putih sebagai simbol negara, ” lanjut dia.
Bahkan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan hanya mengatur larangan penghinaan terhadap Bendera Merah Putih. Selama tindakan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengganti, merendahkan, atau menghina Bendera Merah Putih, maka tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Harusnya, Pemprov Lampung melalui Sekretaris Daerah tidak perlu menanggapi hal tersebut terlalu berlebihan dikarenakan menyampaikan pendapat, ekspresi dan kritik dijamin konstitusi sebagaimana amanat pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan ‘Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat’.
“Kami mengimbau pemerintah dan aparat negara untuk tidak merespons ekspresi semacam ini dengan pendekatan represif. Sebaliknya, kami mendorong adanya ruang dialog yang terbuka untuk memahami aspirasi masyarakat. Menutup ruang kritik dan berekspresi warga hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan antara negara dan warganya, ” tandasnya. (*)