Korwil Jatim Holiyadi
Jember, Gemasamudra.com – Program pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbankum) di tingkat desa dan kelurahan di Kabupaten Jember mendapat sorotan tajam. Pasalnya, sejumlah Posbankum yang terbentuk dinilai tidak mengikuti ketentuan dalam regulasi yang berlaku serta tidak memahami tujuan utama pendirian layanan bantuan hukum tersebut.
Sebagaimana diketahui, pembentukan Posbankum merupakan amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Program ini juga dipertegas melalui Surat Gubernur Jawa Timur Nomor 100.3/3351/013.3/2025 tertanggal 25 Agustus 2025, serta surat dari Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Timur Nomor W.15-HN.04-399 tanggal 15 Oktober 2025 mengenai percepatan pembentukan Posbankum di seluruh desa dan kelurahan.
Namun, hasil peninjauan di lapangan menunjukkan banyak kejanggalan. Salah satu lurah di Kecamatan Patrang mengaku bahwa Posbankum di wilayahnya sudah dibentuk dan dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat dengan beberapa anggota dari warga setempat. Ketika ditanya apakah anggota tersebut berasal dari lembaga bantuan hukum atau memiliki kualifikasi paralegal bersertifikat, jawabannya adalah tidak.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai bagaimana masyarakat tidak mampu atau kelompok rentan bisa mendapatkan bantuan hukum yang layak, terutama ketika kasusnya harus diselesaikan melalui proses peradilan.
Menanggapi fenomena tersebut, Ketua LBH PETA Jember, Safa Ismail, SH, menyampaikan keprihatinannya. Ia menilai terjadi miskomunikasi dan minimnya pemahaman di tingkat desa dan kelurahan mengenai tujuan pembentukan Posbankum. Padahal, kata Safa, pemerintah telah membuka akses pembiayaan melalui jalur pro bono agar masyarakat miskin tetap bisa memperoleh keadilan.
Menurutnya, pembentukan Posbankum yang tidak sesuai aturan justru berpotensi membuat program ini tidak efektif. “Ini bisa terjadi karena kurangnya komunikasi, informasi, dan pemahaman berjenjang,” ujarnya.
Safa berharap aparatur desa dan kelurahan tidak sekadar membentuk Posbankum untuk memenuhi instruksi administratif, tetapi benar-benar memahami fungsi dan mekanisme hukum yang mengatur layanan tersebut. Ia juga mendorong kepala desa dan lurah lebih terbuka untuk berdialog dengan para aktivis dan lembaga bantuan hukum yang kompeten.
“Anggaran yang disediakan Kementerian Hukum dan HAM harus benar-benar tersalurkan secara tepat sasaran. Jangan sampai program mulia ini justru tidak memberi manfaat bagi masyarakat miskin karena kesalahan dalam pemahaman,” tegasnya.(**)






