Pringsewu – Dunia pendidikan di Kabupaten Pringsewu kembali menjadi sorotan setelah muncul dugaan tindakan tidak profesional yang dilakukan seorang guru di UPT SDN 1 Gumukrejo. Guru tersebut diduga menjatuhkan sanksi berupa larangan mengikuti kegiatan belajar selama tiga hari kepada seorang siswa berinisial SNA, hanya karena siswa itu berani mengkritik cara mengajarnya yang dianggap kasar.
Informasi ini pertama kali disampaikan warga kepada wartawan pada Kamis (26/10/2025). Dalam laporannya, warga tersebut menilai tindakan sang guru mencerminkan arogansi dan menunjukkan rendahnya kualitas pembinaan di lingkungan sekolah dasar negeri.
“Guru itu angkuh, termasuk kepala sekolahnya juga begitu. Anak itu hanya menyampaikan keberatan karena cara gurunya mengajar kasar, tapi malah dilarang masuk sekolah,” ujar warga yang melapor dengan nada kecewa.
Sumber di lingkungan sekolah menyebut, siswa SNA dilarang mengikuti kegiatan belajar selama tiga hari berturut-turut, dan hingga kini belum sepenuhnya kembali ke sekolah. Larangan tersebut disebutkan disampaikan langsung oleh wali kelasnya berinisial TR.
Pantauan wartawan di kediaman SNA menunjukkan, siswa tersebut tampak murung dan jarang berinteraksi dengan teman-temannya. Sejumlah warga sekitar menyebut, sejak kejadian itu, SNA menjadi tertutup dan kehilangan semangat belajar.
“Biasanya dia ceria dan suka main. Sekarang lebih sering diam di rumah, tidak mau bicara,” ujar salah satu tetangga.
Perlakuan guru yang melarang siswa datang ke sekolah karena dianggap bersikap tidak sopan menimbulkan pertanyaan serius: apakah pendidikan di tingkat dasar kini telah kehilangan ruang dialog dan empati terhadap anak-anak yang berani bersuara?
Menanggapi hal tersebut, wali kelas TR membantah telah menjatuhkan sanksi skorsing. Ia mengklaim, larangan masuk sekolah selama tiga hari itu hanya bentuk pembinaan agar siswa dapat merenungkan sikapnya.
“Saya tidak memberikan sanksi atau skorsing. Saya hanya menyampaikan agar dia tidak ikut kegiatan belajar selama tiga hari untuk merenungkan kesalahannya,” kata TR saat ditemui di sekolah.
Menurut TR, persoalan berawal dari pesan SNA di grup WhatsApp kelas yang dinilai kurang sopan terhadap guru. Ia mengaku tersinggung atas pesan tersebut, namun menegaskan tidak bermaksud menghukum.
“Dia menulis sesuatu yang tidak pantas di grup. Saya hanya ingin dia belajar menghormati, tidak ada niat membuat anak itu takut,” ujarnya.
TR menambahkan, orang tua siswa, Sugeng, telah datang ke sekolah untuk membicarakan permasalahan secara baik-baik. “Pak Sugeng datang, kami bicara kekeluargaan. Beliau juga mengakui anaknya salah,” katanya.
Namun, pernyataan TR justru memperkuat dugaan adanya ketidakseimbangan dalam hubungan guru dan siswa. Larangan sekolah selama tiga hari—apa pun istilah yang digunakan—tetap merupakan bentuk pembatasan hak anak untuk memperoleh pendidikan.
Seorang pemerhati pendidikan di Pringsewu menilai, tindakan seperti ini tidak bisa dianggap remeh. Ia menyebut, tindakan guru tersebut mencerminkan arogansi yang bertentangan dengan nilai dasar profesi pendidik.
“Guru seharusnya membimbing, bukan menghukum. Kalau anak SD dihukum karena berani berpendapat, itu bukan mendidik, tapi menindas,” ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak UPT SDN 1 Gumukrejo belum memberikan tanggapan resmi. Wartawan masih berupaya melakukan konfirmasi kepada kepala sekolah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Pringsewu untuk memperoleh penjelasan terkait kasus ini.
Kasus ini diharapkan menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Kabupaten Pringsewu dan Dinas Pendidikan. Sebab, larangan belajar tanpa dasar hukum tidak hanya melanggar hak anak, tetapi juga merusak semangat belajar generasi muda.
“Anak itu punya hak belajar, bukan hak untuk dihukum. Kalau kritik saja dilarang, maka sekolah bukan lagi tempat mendidik, melainkan tempat menakuti,” pungkas warga yang melapor. (*)