Bandar Lampung | Sudah satu tahun lebih pengaduan masyarakat dari 8 desa di Lampung Timur terkait dengan kasus dugaan mafia tanah tak kunjung menemui titik terang.
Kasus tersebut saat ini sedang ditangani oleh Polda Lampung dan masih dalam tahap penyelidikan, berdasarkan konfirmasi dari anggota Subdit 2 Harda Polda Lampung. Perkara penerbitan sertifikat diatas tanah garapan seluas 401 hektar dengan jumlah total 418 KK penggarap tersebut telah dilakukan beberapa upaya oleh Polda Lampung.
Beberapa warga juga sudah memberikan keterangan dihadapan penyidik dan juga sudah dilakukan pengambilan titik kordinat terhadap objek yang dilaporkan.
Sementara itu, berdasarkan surat Nomor MP.01.01/1674-18.07/XII/2024 yang diterbitkan oleh BPN Lampung Timur dan ditujukan kepada Menteri ATR/BPN tertanggal 10 Desember 2024 telah dilakukan pencatatan blokir terhadap 177 SHM yang diduga terbit secara cacat administrasi.
Merasa belum menemui hasil yang konkret, pada hari ini Rabu (17/7/2025) warga berkoordinasi dengan pihak penyidik Polda Lampung. Berdasarkan hal tersebut masyarakat mendapatkan informasi bahwa Penyidik masih belum dapat melakukan upaya penyelidikan lebih jauh karena dokumen buku tanah yang diduga cacat adiministrasi belum diserahkan oleh BPN Lampung Timur sementara itu Polda Lampung sudah dua kali menyurati BPN.
Sebelumnya, ribuan masyarakat dari Desa Sri Pendowo, Desa Bandar Agung, Desa Waringin Jaya, Desa Wana, Desa Sri Menanti, Desa Giri Mulyo, Desa Sribhawono, dan Desa Brawijaya yang terdampak dari kasus ini juga sudah melakukan aksi massa di kantor Bupati Lampung Timur pada (21/5/2025) lalu guna menuntut Bupati Lampung Timur untuk turut serta mendorong penyelesaian konflik agraria yang terjadi dengan membentuk tim gugus tugas reforma agraria.
Pada kesempatan tersebut juga hadir langsung Kepala Kantor BPN Lampung Timur yang menyampaikan akan berkomitmen penuh dalam penyelesaian kasus ini. Namun hingga hari ini belum ada satupun tuntutan warga yang dipenuhi termasuk bupati yang sebelumnya akan mengagendakan kunjungan ke lokasi konflik.
Merespon hal ini, LBH Bandar Lampung sebagai kuasa dari masyarakat akan menyurati Bupati Lampung Timur, BPN Lampung Timur dan Polda Lampung untuk meminta agar Bupati dan BPN Lampung Timur segera menindaklanjuti pengaduan yang telah dilakukan. Demikian dikatakan oleh Kepala Divisi Advokasi LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas dalam press releasnya.
“Kasus ini bergulir sejak 2023 dan belum ada titik terang sama sekali, ” kata Prabowo, Kamis (17/7/2025).
Sementara itu, beberapa orang tidak dikenal dan juga pihak bank milik negara pernah masuk ke lahan yang hari ini bersengketa, setelah di konfirmasi oleh warga ternyata orang-orang tersebut sedang mencari tanah yang sertifikatnya dijadikan jaminan peminjaman uang oleh oknum-oknum yang menguasai sertifikat yang diduga cacat administrasi tersebut.
“Jangan sampai ada proses pembiaran dan pengabaian dari pemerintah dalam hal ini Bupati Lampung Timur yang sudah berkomitmen akan turut mendorong penyelesaian kasus, masyarakat tentu berharap agar mereka tidak hanya dijadikan suara saja saat pemilu dan juga konten media sosial semata oleh Bupati, ” lanjutnya.
Prabowo juga berharap, BPN Lampung Timur dalam hal ini juga wajib untuk bertindak kooperatif dan tidak menghalang-halangi proses penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polda Lampung (obstraction of justice).
“Ada 418 KK dengan sekitar 2000 jiwa masyarakat 8 Desa di Lampung Timur yang terombang-ambing nasibnya ditengah situai ancaman perampasan ruang hidup dari oknum mafia tanah, ” ucap dia.
Prabowo berharap, upaya pengungkapan dugaan kasus mafia tanah di Lampung Timur seharusnya juga dapat menjadi momentum yang baik bagi kepolisian untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
”Jangan sampai ada disparitas dalam penegakkan hukum apalagi menyangkut masyarakat miskin khususnya petani penggarap dari 8 desa di Lampung Timur, ” tegas dia.
Tak hanya itu, Prabowo juga menambahkan, bahwa konflik agraria di Desa Wana bukan sekadar persoalan administratif atau sengketa biasa. Ini adalah cermin dari ketimpangan struktural dan ketidakadilan agraria yang masih kuat bercokol di Indonesia.
“Sudah saatnya negara memihak kepada mereka yang selama ini diabaikan: rakyat kecil yang menggantungkan hidupnya pada tanah yang kini hendak dirampas atas nama legalitas semu, ” tutupnya.