Bandar Lampung (GS) Anggota DPR RI Fraksi Nasional Demokrat (NasDem) Taufik Basari menegaskan bahwa tindakan pemerkosaan masuk dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Hal ini ia katakan saat gelar diskusi merefleksikan UU TPKS bersama pegiat perempuan di Lampung, psikolog, advokat dan perhimpunan mahasiswa, Rabu (20/4) di Rumah Aspirasi Taufik Basari, Pahoman, Bandar Lampung.
“Beberapa kalangan menyayangkan ketiadaan pasal perkosaan. Perlu saya luruskan, itu keliru. Karena perkosaan itu ada di UU TPKS dalam bentuk tindak pidana yang ditetapkan sebagai kekerasan seksual, di Pasal 4 yang terdiri dari 2 ayat,” kata Taufik Basari atau yang akrab disapa Tobas saat diwawancarai.
Ia memaparkan, di Pasal 4 ayat (1), tindak pidana baru atau delik baru yaitu delik tindak pidana kekerasan seksual mencakup sembilan (9) jenis di huruf a-i yang kemudian dalam pasal-pasal itu dirumuskan apa saja unsur-unsurnya.
” Ada pelecehan fisik, pelecehan non fisik, pelecehan seksual, pelecehan berbasis elektronik, penyiksaan seksual, dan sebagainya kita rumuskan, dan itu adalah delik baru yang ada di UU TKPS,” paparnya.
Sementara, lanjut dia, di Pasal 4 ayat (2), disebutkan ada sembilan (9) jenis tindak pidana yang sudah diatur di UU lain, tetapi oleh UU TPKS dinyatakan sebagai bagian juga dari tindak pidana kekerasan seksual.
Jadi, Pasal 4 Ayat (2) adalah jembatan antara tindak pidana yang dimuat unsur-unsurnya dalam UU tersebut dengan tindak pidana yang unsur-unsurnya dimuat di UU lain.
” Konsekuensinya , dari tindak pidana yang dinyatakan suatu tindak pidana dalam UU lain dinyatakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual, maka TPKS meskipun tidak dirumuskan unsur-unsurnya, dalam UU TPKS, maka rumusan delik tersebut tetap harus tunduk pada implementasi dari UU TPKS,” lanjutnya.
Sehingga, kata dia, apabila ada korban perkosaan, maka korban perkosaan ini berhak atas hak-hak yang diatur dalam UU TPKS, penanganannya pun juga menurut acara hukum khusus yang diatur dalam UU TPKS. Termasuk juga pencegahannya, baik dari negara dan masyarakat untuk melakukan pencegahan termasuk perkosaan di dalamnya.
“Jadi, yang membedakan antara ayat (1) dan (2) hanyalah yang ayat (1) dirumuskan unsur-unsurnya, yang ayat (2) unsur-unsurnya sudah dirumuskan di UU lain. Tapi persamaan keduanya adalah semua tindak pidana yang disebabkan UU TPKS itu tunduk kepada keseluruhan yang ada di UU TPKS,” jelasnya.
Taufik Basari juga menyinggung adanya mekanisme dana bantuan korban (victim trust fund) yang termaktub dalam UU TPKS. Menurutnya, victim trust fund merupakan salah satu mekanisme progresif yang berhasil DPR rumuskan di UU TPKS.
“Ini adalah wujud hadirnya negara ketika ada kejahatan TPKS terjadi. Kita menetapkan bahwa korban memiliki hak atas resistusi dan hak kompensasi yang wajib dipenuhi pelaku, ” lanjutnya.
Meskipun, kata dia, bisa saja dalam penerapan UU TPKS ini nantinya pelaku kekerasan seksual tidak bisa memenuhi ini dengan alasan ekonomi, maka negara hadir dengan memberikan kompensasi kepada korban. Sehingga hak korban 100 persen terpenuhi karena negara hadir di situ.
“Mekanismenya, dana bantuan korban bisa saja selain dari negara. Misal dari dana sumbangan, CSR, filantropi, dan dana bantuan yang tidak mengikat sehingga selalu ada ketersediaan dana untuk kebutuhan korban ketika dia membutuhkan kompensasi,” tegasnya.
Diskusi antar elemen tersebut juga menghasilkan kesepakatan yang diberi nama “Deklarasi Pahoman”. Ada lima (5) poin yang disepakati, diantaranya:
Pertama, menyambut baik disahkannya UU TKPS , menganggap UU TPKS adalah tonggak peradaban baru sebagai upaya menghormati harkat martabat manusia.
Kedua, berharap agar semua pihak/kalangan warga Lampung khususnya untuk bersama-sama bergerak, berupaya menciptakan suasana yang aman dari ancaman kekerasan seksual dan kita bersama-sama melakukan pencegahan agar tidak terjadi di lingkungan.
Ketiga, meminta pemerintah daerah, mulai dari provinsi, dan kabupaten untuk membuat langkah strategis guna mewujudkan ruang aman di fasilitas publik. Harapannya, agar setiap orang yang ada dalam di ruang publik tersebut bisa merasa aman dari kekerasan seksual. Mulai dari strategi pembangunan, anggaran, dan semua kebijakan harus diarahkan untuk membuat lingkungan aman dari kekerasan seksual.
Keempat, meminta agar aparat penegak hukum (APH) mampu mengimplementasikan poin-poin yang ada di UU TPKS. Tidak hanya menjalankan saja, tapi juga harus mampu membangun perspektif, di mana ketika APH menangani kasus kekerasan seksual harus memperhatikan korban, sehingga korban yang berhadapan dengan kasus hukum tidak menjadi korban yang kesekian kalinya
Kelima, meminta agar keluarga bisa menjadi garda terdepan dalam pencegahan kasus kekerasan seksual. Keluarga diharapkan memberikan edukasi kepada anak-anaknya, karena keluarga memiliki peran setral dalam memberikan edukasi kepada anak.
“Mudah-mudahan Deklarasi Pahoman ini menjadi penyemangat kita untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual di Provinsi Lampung,” pungkasnya. (*/Red)