PRINGSEWU – Sorotan tajam datang dari Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah (KPKAD) Lampung terkait polemik yang tengah menerpa Kafe dan Resto Ummika di Kabupaten Pringsewu. Ketua Koordinator Presidium KPKAD, Gindha Ansori Wayka, S.H., M.H., menyebut peristiwa ini sebagai sinyal buruk lemahnya perlindungan tenaga kerja dan pengawasan pemerintah di tingkat daerah.
“Dengan kejadian ini, kita turut prihatin. Seharusnya hak-hak pekerja diupayakan secara maksimal. Terlebih jika menyangkut perempuan dan anak di bawah umur, harus benar-benar sesuai dengan aturan perundang-undangan,” ujar Gindha.
Ia menegaskan bahwa jam kerja, hak makan dan istirahat, serta beban kerja telah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, termasuk larangan memberikan pekerjaan di luar kesepakatan kerja atau pekerjaan yang berisiko pada anak. “Kalau terjadi pelanggaran, maka harus ada evaluasi serius,” kata Gindha.
KPKAD pun secara tegas mendorong Bupati Pringsewu, Dinas Tenaga Kerja Pringsewu, hingga DPRD setempat untuk tidak tinggal diam.
“Kami mendesak Bupati Pringsewu agar menginstruksikan evaluasi menyeluruh terhadap usaha tersebut. Bila terbukti terjadi pelanggaran, maka perlu dibenahi secara struktural dan diberikan sanksi. Jika tidak ada perbaikan, maka izin usahanya harus dicabut dan tempatnya ditutup,” tambahnya.
Pernyataan ini muncul menyusul pengakuan dari DW, mantan karyawan Ummika, yang menyebut dirinya dan sejumlah rekan kerja bekerja dari pukul 11 siang hingga 12 malam, bahkan harus mengikuti briefing hingga subuh, dengan waktu makan yang kerap tertunda.
Ia juga mengaku sering dimarahi hingga mengalami tekanan psikis. Beberapa rekan DW bahkan disebut mulai bekerja sejak masih berusia di bawah 18 tahun, dan salah satunya menjadi korban pelecehan oleh salah satu owner.
Sementara itu, tanggapan netizen di media sosial, terutama Facebook, menunjukkan gelombang empati dan kemarahan yang terus membesar. Banyak komentar bermunculan, mulai dari keluhan soal perlakuan kasar, upah yang tak dibayarkan, hingga ajakan boikot.
Akun-akun seperti Duwek Adja menyampaikan keprihatinan atas kondisi karyawan yang bekerja keras namun tidak dihargai, sementara Layla Manohara Property menyindir bahwa sikap pemilik yang arogan memengaruhi pelayanan karyawan.
Komentar tajam juga datang dari Arum Kusumawati yang mengaku adiknya pernah tidak digaji dan mendapat perlakuan tidak manusiawi. Rizki Wibowo menyoroti jam kerja yang panjang tanpa kompensasi memadai, sementara akun Mell Mell Lah mengaku sebagai mantan karyawan yang memilih diam karena takut tekanan dari pihak owner.
Tak ketinggalan, Ayu Arsy Foam menyoroti buruknya layanan dan menyerukan pemboikotan, mencerminkan hilangnya kepercayaan pelanggan. Komentar-komentar tersebut mewakili keresahan kolektif warga dan menjadi tekanan moral agar kasus ini tidak diabaikan.
Di sisi lain, respons dari owner Ummika justru memperkeruh suasana. Saat dikonfirmasi, F salah satu owner malah menyambut pertanyaan dengan kalimat sinis, “Apakah beritanya sudah A1? Udah hebat apa?” Sikap ini dinilai banyak pihak sebagai bentuk arogansi dan minim empati, memperkuat asumsi publik bahwa ada sesuatu yang ingin ditutupi.
Kini, masyarakat menanti langkah tegas dari Pemerintah Kabupaten Pringsewu, Dinas Tenaga Kerja, serta aparat penegak hukum. Ketika suara para korban telah berbicara, diamnya negara hanya akan memperdalam luka dan ketidakadilan. ( * )