Gema Samudra, Ilmu & Pengetahuan
Gema Samudra | Seringnya kontributor atau koresponden mendapat upah dibawah upah minimum menimbulkan banyak keprihatinan. merekaa kebanyakan tak berdaya untuk menyuarakan nasibnya sendiri, bahkan di media tempat ia bekerja.
Memang menyedihkan, sebagian besar wartawan kontributor berlaku hukum piramida terbalik karena mereka hanya dibayar dibawah standar upah minimum meski kantor berita mereka yang besar.
Salah satu tujuan strategi piramida terbalik adalah bila dipotong bagian bawahnya karena keterbatasan halaman, kontens berita tidak akan terpengaruh dan berita tetap layak muat.
Ketika teknologi mampu mengantisipasi itu, ternyata “amputasi” jarang terjadi lagi pada berita yang ditulis wartawan, tapi wartawan justru yang sering diamputasi. Yaitu wartawan yang berada di lapisan piramida paling bawah seperti kasus PHK, dan lain-lain.
Bahkan terjadi juga beberapa kasus kalau banyak media besar sangat “kanibal”. “Tenaga muda wartawan” dihisap. lebih ganas dari drakula. Tapi setelah usia si wartawan bertambah dan tingkat produktifitas wartawan mulai menurun, direkayasalah skenario untuk membuat si wartawan tidak betah atau “berkasus”, sehingga ia mengundurkan diri dengan sendirinya.
Tujuannya tentu agar wartawan itu tak perlu lagi diberi “uang PHK”, apalagi semacam dana pensiun. Kenapa? Karena mereka mundur atas kemauan sendiri.
Kenapa Tak jadi Hartawan ?
Lalu, apakah masalah akan tuntas dengan hanya meratapi keadaan atau menyalahkan pihak-pihak lain? Atau bahkan menjadikan alasan untuk “mengkhianati” diri sendiri pengemis, perampok daripada menjadi wartawan idealis.
Jika itu terjadi, berarti di saat yang sama berakhirlah karir kita sebagai wartawan. Karena modal dasar wartawan itu adalah objektifitas dan harga diri. Seharusnya sebagai orang yang bekerja menghimpun informasi, wartawanlah seharusnya yang memegang kendali.
Bukankah para pakar ilmu sosial mengatakan, “siapa yang menguasai informasi dialah yang akan mengendalikan dunia ini”. Atau kita sebagai wartawan telah menjadikan diri hanya sebatas tempat dari pembuangan limbah informasi belaka? Sedangkan informasi pentingnya hanya dinikmati oleh orang lain?.
Sebagai ilustrasi. Seorang petani yang hanya menanam singkong saja, dan hanya sekolah tamat SD, coba kita simak kalkulasi penghasilannya. Untuk satu hektar lahan bisa memuat 800 batang ubi kayu. Rata-rata isi ubinya per batang adalah 25 kg.
Bila harga 1 kg ubi kayu adalah Rp. 3000, artinya sebatang menghasilkan 25 kg x Rp. 3000 = Rp. 75.000 kg. Artinya untuk 1 hektar penghasilannya adalah Rp. 75.000 x 800 batang = Rp 60.000.000,- (60 juta rupiah). Bila panennya sekali 6 bulan berarti satu tahun bisa dua kali panen, artinya penghasilan kotor pertahun adalah Rp 120 Juta. Taruhlah biaya operasional termasuk sewa lahannya Rp 20 juta. Artinya penghasilan bersih per tahun adalah Rp 100 juta.
Itu hanya kalkulasi seorang “petani” yang tamat SD. Lalu pertanyaannya, kenapa kita tidak menjadi wartawan yang sekaligus juga petani dengan wawasan tamatan perguruan tinggi?
Ada contoh wartawan senior yang jadi wartawan di sejumlah media daerah dan nasional, seperti Pria Takari Utama, yang juga pernah jadi wartawan Singgalang dan Haluan di awal tahun 1980-an, kini dia sudah bisa membeli rumah Bang Yos (Sutiyoso) yang harganya puluhan miliar rupiah. Kok bisa?
Semasa jadi wartawan dia menjalin hubungan baik dengan sejumlah pengusaha besar, lalu sambil jadi wartawan dia mengambil pendidikan spesialis kenotariatan. Begitu ia jadi notaris, ia langsung punya klien pengusaha-pengusaha besar.
Jadi kalau wartawan tidak mengkhianati dirinya sendiri, tetap menjaga idealisme dan objektifitas, tentunya akan bisa jadi wartawan yang sekaligus hartawan.
Sumber : DBS/Sdr