Korwil Jatim Holiyadi
Jember, Gemasamudra.com – Supeno (80) dan saudaranya warga Desa Petung Kecamatan Bangsalsari Jember yang juga ahli waris dari Karim alias pak Sadin, mencari keadilan atas terbitnya Sertifikat Hak Pakai atau HGU atas tanah leluhurnya yang memiliki luas total kurang lebih 96 hektar, setelah tanah tersebut di sewa oleh pihak Perusahaan Perkebunan.
Dengan didampingi kuasa pendamping seperti LP-KPK (Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan) Komisi Daerah Jawa Timur dan Lembaga Independen Barisan Anti Suap (Libas) Jember, Supeno mendesak kepada pihak-pihak yang terlibat penerbitan Sertifikat HGU untuk lahan seluas kurang lebih 96 hektar yang ada di pinggir jalan nasional tersebut.
Purnadi kuasa pendamping dari LP KPK menyatakan, bahwa pihaknya akan membawa persoalan terbitnya sertifikat HGU atas tanah pak Karim alias Sadin. “Kami akan menempuh pidana terhadap pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat tersebut,” ujar Purnadi.
Menurut Purnadi, pihak yang paling bertanggung jawab atas terbitnya sertifikat tersebut, adalah kepala desa, juru ukur dan juru catat. “Saat hendak diterbitkan sertifikat, tentu butuh persetujuan dari kepala desa, apalagi tanah ini pernah bersengketa pada tahun 1980 dan tahun 2007 an,” ujar Purnadi.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Agus Sakera kuasa pendamping yang juga ahli waris dari Pak Karim alias pak Sadin, menurutnya proses pengajuan sertifikat, tentu harus ada tanda tangan kepala desa, dan pihak kepala desa mengecek asal usul tanah tersebut.
“Tanah milik pak Karim, itu sudah di patok, dan dulu pernah rame karena ada sengketa, lha kok tahun 2023 muncul sertifikat, ini jelas jelas ada permainan, dan kami pastikan akan kami usut dan proses hukum,” tegas Agus Sakera.
Riwayat tanah yang kini sebagian sudah terbit sertifikat hak guna atau hak pakai, merupakan tanah milik Pak Karim alias pak Sadin, hal ini dikuatkan dengan 4 bukti petok atau pipil yang diterbitkan pada era Belanda.
4 petok tersebut, diantaranya petok nomor 28 memiliki luas 12.235 M2, petok nomor 123 dengan luas 32.117 M2, petok nomor 212 dengan luas 7.120 M2 dan petok nomor 122 dengan luas 44.133.
Tanah tersebut merupakan pemberian dari Belanda pada era penjajahan, atau sekitar tahun 1943, kemudian tanah tersebut disewakan ke perkebunan.
Hal ini tertuang dalam surat pernyataan yang dibuat oleh Munadjak, dimana pada tahun 1963, dirinya menjadi mandor di LMODE (Landbouw Maatschappij Out to Deventer) perkebunan Belanda berkedudukan di Jember, dimana sindernya saat itu orang Belanda bernama Tn. Astraten.
Kemudian pada tahun 1964, Astraaten menitipkan sejumlah dokumen 1 bendel kepada Munadjak, dengan berpesan, agar surat-surat tersebut dijaga dan tidak diserahkan ke orang lain, sedangkan Tn. Astraaten sendiri pulang ke negaranya di Belanda dan tidak kembali lagi.
“Saya akan kembali ke Belanda, dan tidak akan ke negerimu lagi, ini saya titip surat-surat penting dari FAHBOK, siapapun yang meminta ini jangan diserahkan,” kata Munadjak dalam pernyataannya yang dibuat pada 10 November 2014 dan dibubuhi materai dan cap Jempol.
Munadjak juga tidak mengetahui isi surst-surat tersebut, namun oleh saudara istrinya yang bernama Supar, dirinya diberi tahu, jika surat-surat tersebut adalah surat Pajak milik pak Karim alias pak Sadin.
Kemudian pada tahun1965, kondisi desa Petung mengalami kekacauan seiring dengan peristiwa Gestapu, Munadjak dipindah ke PPN V Jember, sedangkan tanah yang dikelolanya, oleh Hansip disuruh mengosongkan, dan semua petani yang menggarap tanah diusir.
Kemudian surat-surat titipan Tn. Astraaten ditaruh di Kebun Cubung Kaliwining, kemudian dirinya dipindah ke PTPN XXVII sampai pensiun pada tahun 1987. (**)